Mari ‘nginggris’ dengan sederhana

Alfi Ali
3 min readFeb 6, 2021
dari Pekhabar.com

Saya adalah pengguna twitter yang cukup aktif. Layaknya sholat, hitungan lima tweet sehari jadi buktinya. Selain memproduksi tweet, saya juga memfollow berbagai akun dari berbagai negara, seperti radio lokal Zimbabwe, akun persona SJW Amerika yang satir, sampai penerbit buku dari Malaysia.

Sore itu saya menghabiskan tenaga dengan menggulirkan layar Twitter saya, mencari baru yang tidak baru, melihat kabar yang bukan berita, pun juga berita yang bukan kabar. Kesal juga kalau dipikir. Tapi, sore itu saya cukup beruntung, karena algoritma membukakan jalan saya ke sebuah kabar yang benar kabar.

“Kenapa Netflix negara lain boleh guna bahasa mereka, tapi @NetflixMY masih dengan bahasa inggeris?”

Sebuah akun berkebangsaan Malaysia mengunggah perbandingan beberapa akun resmi lokal sebuah layanan streaming film, sebut saja Notflip. Akun tersebut lalu bertanya, mengapa akun Notflip Malaysia mengunggah konten mereka dalam Bahasa Inggris, ketika Notflip Jepang, Thailand, dan Indonesia menggunakan bahasa mereka masing-masing. Selang beberapa jam setelah unggahan tersebut, khalayak Twitter Malaysia heboh dan bersilang pendapat perihal isu ini. Saya senang sekali melihat keramaian itu. Saking asyiknya, saya baru menyadari bahwa isi retweet dan like saya melonjak cepat. Saya bayangkan kawan follower saya kebingungan, “apa-apaan ni anak nge-retweet orang Malaysia.”

Dengan gairah penuh rasa penasaran, saya melangsungkan riset yang sangat akademik: Wikipedia. Sebagai konteks, Malaysia adalah negara jajahan Inggris selama sekitar 100 tahun lebih, dan kemerdekaannya baru dicapai pada 1946. Seperti bangsa-bangsa lain yang terkolonikan Eropa, bahasa menjadi salah satu aspek yang ditindas, dan pemilihan Bahasa Inggris selama masa koloni adalah produk dari kolonialisme tersebut. Bahasa Inggris, yang tentu dipakai para pejabat-pejabat Kolonial, menjadi tolok ukur elitisme kelas atas, dan bahasa Melayu berada dibawahnya. Hal ini disebutkan Richard Powell dalam artikelnya yang membahas koloni Inggris di Pakistan, Malaysia, dan Kenya.

“Tapi kan ini seratus tahun yang lalu…” saya tanya pada diri sendiri. “Emang masih ada kesenggangan kelas dari penggunaan bahasa Inggris dan Melayu di tetangga kita?”

Ya. Bahasa Inggris memang meluas disana, tetapi ‘elitisme’ ini berlanjut, hingga pemakaian bahasa Inggris di kehidupan sehari-hari menjadi bukti orang yang ‘terdidik’. Salah satu akun juga berpendapat, kalau orang itu terdidik di ‘bandar’ (kota besar), pastilah dia pakai bahasa Inggris itu sehari-hari. Akun lain juga mengunggah ‘meme’, bahkan anak kecil juga pakai bahasa campur Melayu-Inggris (sempat saya kira anak itu orang Jaksel cabang Malaysia).

Meme

Bahasa Inggris menjadi persoalan kelas ketika, seperti halnya zaman kolonial, dijadikan alat untuk ‘naik’ dan ‘dihormati’, apalagi ketika opini yang nginggris jadi tolok ukur otoritas informasi (ehem n*icem*dia). Ini jadi kritik untuk saya juga, ketika misal saya mempromosikan bahasa Inggris di siswa SMK Bandung demi diterima bekerja di startup Jakarta yang modern dan sangat millenials. Saya cenderung menganggap, siswa yang lancar berbahasa Inggris sangat bisa diterima bekerja di startup, sedangkan yang tidak lancar paling mentok hanya sampai perusahaan kecil lokal. Padahal, keduanya sama saja. Sama-sama merintis dan memulai dari bawah. Sama-sama pegawai. Bedanya cuman gengsi.

“Tapi kan kalau bisa bahasa Inggris, kita bisa ngobrol sama siapapun, mau bule atau lokal…” Benar juga hmmm…

Fleksibilitas sosial jadi poin penting buat belajar bahasa Inggris. Kita bisa ngobrol sama orang bule, kita bisa ngobrol sama orang-orang yang juga bisa bahasa Inggris dari manapun di dunia. Tapi, fleksibilitas ini malah jadi efek negatif ketika keinggrisan ini tumpah ke relasi sosial yang sama-sama indonesia dan tidak perlu-perlu amat pake bahasa Inggris. Seperti kopi kebanyakan air, tumpah ke tatakan gelas, dan bikin kopinya jadi hambar. Khalayak nginggris tidak pada tempatnya, khalayak nginggris demi gengsi, lantas apa bedanya sama zaman penjajahan?

Malam itu saya tidur dengan penuh rasa bingung dan ragu. Love-hate relationship biasanya membingungkan.

Dalam tidur saya, sesosok tua memukul saya dengan tongkat ikoniknya. Ia menegur saya dengan suara lembutnya.

“Kamu harus nginggris dengan sederhana,” katanya.

--

--